ARTICLE AD BOX
Sementara buku Kumpicak (Kumpulan Puisi Kecak) dibedah oleh Hartanto. Diskusi dipandu Dr Ni Kadek Arshiniwati SST MSi. Terungkap, ‘Mungkah Lawang’ tak hanya berlaku di pentas seni, juga di ruang publik.
Diskusi berlangsung menarik saat buku terbitan Pustaka Ekspresi ini dibedah oleh ahlinya. Banyak orang menyadari bahwa mungkah lawang yang selama ini dikenal sebagai satu frase gerak tari, merupakan sebuah konsep budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Bali dan juga masyarakat luas. Setiap keluar dari rumah tempat tinggal menuju tempat umum (balai banjar, balai desa, tempat kerja) tanpa disadari melakukan mungkah lawang. Di mana kita harus mengubah perilaku, dari perilaku di ruang pribadi menjadi perilaku di ruang umum yang diikat oleh kebiasaan. Kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat umum.
Prof Dibia mengangkat mungkah lawang sebagai topik utama untuk menunjukkan bahwa di dalam tradisi Bali terdapat sebuah ragam gerak tari yang sederhana wujudnya tetapi merupakan gerak vital dalam tari Bali. Selain digunakan oleh hampir semua tari Bali, dan berfungsi sebagai pembuka sebuah tarian, mungkah lawang juga menjadi gerak pemisah antara ruang pribadi dengan ruang publik. Sebagai penanda transformasi peran sosial seorang penari-aktor, dari orang biasa menjadi tokoh yang diperankan. “Berdasarkan hal ini, mungkah lawang sangat potensial untuk membangun kesadaran masyarakat umum dalam bersikap dan berperilaku ketika berada di ruang-ruang yang disebutkan di atas,” ungkapnya.
Dalam mejalankan kehidupan sehari-hari, sesuai profesi masing-masing, banyak orang yang dengan mudah keluar masuk dari ruang pribadi ke ruang publik yang masing-masing memiliki aturan dan tata krama berbeda-beda. Untuk itu mungkah lawang bisa dijadikan pegangan oleh banyak orang ketika berada di suatu tempat dan ruang yang masing-masing memiliki kebiasaan-kebiasaan dan tata krama yang berbeda-beda. “Melakukan suatu perubahan gaya hidup, dari yang lama ke yang baru juga merupakan sebuah aksi mungkah lawang. Melakukan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama, juga termasuk aksi mungkah lawang,” ungkap Prof Dibia.
Perkawinan juga merupakan sebuah peristiwa mungkah lawang bagi pasangan baru, dari kehidupan sendiri menjadi kehidupan bersama. “Terjunnya saya ke seni sastra dengan menulis beberapa buku puisi, walaupun dengan materi baku seni pertunjukan, bidang yang menjadi wilayah spesialisasi saya, tetapi dengan menggunakan wahana baru yaitu sastra saya juga melakukan mungkah lawang,” kata penerima penghargaan seni internasional Padma Shri dari Pemerintah India ini.
Sementara Hartanto menggarisbawahi terjadi alih wacana dari seni pertunjukan ke seni sastra, suatu kreativitas yang belum banyak terjadi di Indonesia. Dia melemparkan sebuah pandangan baru terhadap seni tari, bahwa ketika menari, seorang penari membuat puisi dengan raganya, seperti halnya penyair menciptakan puisi dengan berolah kata. Terkait dengan itu Hartanto menyebutkan bahwa tari dalam banyak hal adalah sebuah ‘aksara badani’. Dia juga merespon kreativitas lintas batas, di mana selama ini banyak seniman yang seperti dibatasi oleh mitos, yang membuatnya terkungkung dalam satu bidang seni saja sementara dalam dirinya ada potensi seni lain yang juga membutuhkan ruang untuk bisa terekspresi ke luar. 7